KISAH SU’UL KHATIMAH
Oleh : Eka Feryananda
Salah seorang pelaut mengisahkan kepadaku sebuah kisah yang pernah
terjadi di kapal mereka. Ia berkata,”Kami berlayar di atas kapal
mengitari berbagai negeri untuk mencari rizki. Pada sebuah perjalanan,
kami ditemani oleh seorang pemuda yang shalih, tulus hatinya, baik budi
pekertinya. Kami melihat pancaran ketakwaan yang memancar dari wajahnya,
cahaya dan keceriaan tergambar pada kehidupannya.
Kami tidak melihatnya kecuali dalam keadaan wudhu, shalat, atau dalam
keadaan memberikan nasihat dan arahan. Jika telah datang waktu shalat,
dia adzan untuk kami dan shalat memimpin kami. Jika salah seorang di
antara kami tertinggal atau terlambat dia menegur dan menasihatinya.
Kami senantiasa dimanjakan dengan nasihat-nasihatnya sepanjang
perjalanan kami.
Lautpun mengantarkan kami menuju sebuah pulau dari kepulauan di
India, kemudian kami pun berlabuh di sana. Sudah menjadi kebiasaan para
pelaut, menjadikan hari-hari berikutnya sebagai untuk beristirahat,
setelah penatnya perjalanan jauh. Mereka berjalan-jalan di pasar-pasar
kota untuk membeli barang-barang asing yang mereka temukan sebagai
oleh-oleh untuk keluarga dan sanak saudara. Kemudian mereka kembali ke
kapal di malam hari.
Di antara mereka ada beberapa orang yang terjerumus ke dalam
kesesatan. Mereka pergi ke tempat-tempat permainan, mengumbar hawa nafsu
ke tempat-tempat hina dan pelacuran. Sedangkan pemuda shalih tersebut
sama sekali tidak turun dari kapal, bahkan dia menghabiskan hari-harinya
untuk membenahi kapal dan apa saja yang dibutuhkan untuk diperbaiki.
Demikian pula ia sibukkan dirinya dengan berdzikir, membaca al-Qur an
dan shalat.
Pada suatu ketika, saat pemuda tersebut sibuk dengan pekerjaannya,
tiba-tiba datanglah salah seorang awak kapal yang termasuk orang-orang
yang mengikuti hawa nafsunya dengan melakukan segala perbuatan yang
berseberangan dengan amal-amal shalih, dan berakhlak dengan akhlak yang
rendah. Dia berbisik kepadanya seraya berkata,”Wahai sahabatku, kenapa
engkau berdiam diri di kapal tidak menyertai kami? Kenapa engkau tidak
turun hingga melihat dunia yang bukan duniamu? Kamu akan melihat apa-apa
yang bisa menyenangkan hatimu, dan menggembirakan jiwamu! Aku tidak
berkata kepadamu, mari menuju tempat-tempat pelacuran, tidak juga ke
tempat-tempat kebinasaan dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan
tetapi marilah, lihatlah kepada tempat-tempat permainan ular, bagaimana
bermain-main dengan ular, melihat kepada penunggang gajah, bagaimana dia
menjadikan belalainya sebagai tangga kemudian dia naik dengan kedua
kaki dan tangannya hingga mendirikannya di atas satu kaki. Lihatlah
kepada orang yang berjalan di atas paku, orang yang mengunyah bara api
seperti mengunyah huah-buahan, orang yang meminum air laut yang
menyegarkannya seperti air tawar menyegarkannya. Wahai saudaraku
turunlah, dan lihatlah manusia.
Maka jiwa pemuda itupun tergerak rindu terhadap apa yang ia dengar. Maka dia berkata,”Apakah yang kamu sebutkan memang di luar sana?’ Maka berkatalah teman yang buruk tersebut: ‘Ya, turunlah, lihatlah apa yang bisa menyenangkanmu’.
Maka turunlah pemuda shailih tersebut bersama dengan temannya.
Keduanya berjalan-jalan di pasar kota dan berbagai sudut jalan hingga
masuk ke sebuah jalan kecil yang sempit. Keduanya sampai di penghujung
jalan di depan sebuah rumah kecil. Temannya masuk ke dalam rumah
tersebut dan meminta kepada pemuda tadi untuk menunggunya dan berkata,”Sebentar lagi aku akan mendatangimu, tetapi kamu jangan mendekat ke rumah itu.”
Duduklah pemuda tersebut jauh dari pintu. Dia habiskan waktunya
membaca dan berdzikir. Tiba tiba, dia mendengar suara tawa keras
terbahak-bahak, dan terbukalah pintu yang tadi dimasuki oleh temannya
dan keluarlah seorang wanita yang telah melepaskan rasa malu dan
menanggalkan akhlaknya.
Sang pemuda tergerak hatinya, diapun mendekat ke pintu dan memasang
pendengarannya untuk mengetahui apa yang ada dalam rumah. Tiba-tiba dia
mendengar suara yang lain, kemudian dia melihat dari celah-celah pintu,
pandangan diikuti dengan pandangan yang lainnya, terus bergantian. Dia
melihat sesuatu yang tidak biasa dan belum pernah ia lihat sebelumnya.
Kemudian dia kembali ke tempatnya. Saat temannya keluar, pemuda tersebut
segera menemuinya dan berkata: “Apa ini?! Celaka kamu! Ini adalah perkara yang dimurkai Allah, dan tidak Dia ridhai.” Temannya menghardik,‘Diamlah, wahai orang buta, wahai orang yang dungu, ini bukan urusanmu.”
Kemudian perawi kisah ini mengatakan: “Maka kamipun kembali ke kapal,
di akhir-akhir malam. Sementara sang pemuda terjaga tidak bisa tidur
sepanjang malam. Pikirannya sibuk mengurai apa yang telah dilihatnya.
Panah setan telah menguasai hatinya, pemandangan tersebut telah
menguasai batinnya. Belum lagi matahari terbit, fajar belum menyingsing
tetapi pemuda menjadi orang pertama yang turun dan kapal, dalam benaknya
tidak ada maksud lain kecuali hanya melihat-lihat, tidak ada keinginan
lain kecuali hanya untuk melihat saja. Maka pergilah dia ke tempat
tersebut, selesai melihat yang ini ia lanjutkan melihat yang itu dan
begitu seterusnya melihat dari satu pemandangan ke pemandangan lainnya,
hingga akhirnya ia berani membuka pintu dan menghabiskan waktunya di
tempat tersebut. Hari berganti hari, sementara dirinya dalam keadaan
demikian.
Nahkoda kapal mencari-carinya, dan bertanya, ‘Di mana muadzdzin (tukang adzan) kita? Di mana imam shalat kita? Di mana pemuda shalih tersebut?” Tidak
ada satu pelautpun yang menjawabnya. Sang nahkoda memerintahkan anak
buahnya untuk berpencar mencarinya. Hingga sampailah kabar kepada sang
nahkoda berita tentang pemuda shalih dari orang yang pergi
menunjukkannya ke tempat maksiat tersebut. Sang nahkoda meminta orang
itu menghadap, ia memaki dan memarahinya seraya berkata: “Tidakkah kamu bertakwa kepada Allah, dan takut adzabnya? Segera pergi ke sana dan bawa Ia kemari!”. Maka
pergilah dia menuju pemuda tersebut, berulang kali, akan tetapi
sia-sia. Orang tidak bisa membawa sang pemuda karena dia menolak dan
tidak mau pulang bersama mereka. Maka tidak ada cara lain, pemimpin
kapal akhimya mengutus beberapa orang untuk memaksanya kembali.
Merekapun meringkusnya secara paksa, dan membawanya kembali pulang ke
kapal,
Perawi kisah ini melanjutkan,“Kapal tersebut berlayar kembali menuju
ke negeri asalnya. Para pelaut kembali kepada pekerjaan mereka
masing-masing, sementara sang pemuda berada di sisi kapal dalam keadaan
menangis menyesali nasib, merintih-rintih hingga hampir putus urat
nadinya karena kerasnya tangisan. Para awak kapal menghidangkan makanan
untuknya, namun ia tidak mau memakannya. Selama beberapa hari
demikianlah yang terjadi padanya. Kondisinya semakin memprihatinkan.
Pada suatu malam, tangis dan rintihannya semakin menjadi-jadi, tidak ada
satu orangpun dan awak kapal yang bisa tertidur. Maka nahkoda kapal
mendatanginya dan berkata,“Wahai pemuda, bertakwalah kepada Allah,
ada apa denganmu? Sungguh rintihanmu itu mengganggu kami, kami tidak
bisa tidur, duhai engkau apa gerangan yang menjadikanmu berubah seperti
ini?” Pemuda itupun menjawab sambil menahan sakit, “Tinggalkan aku sendirian, sungguh aku tidak mengetahui apa yang menimpaku.” Maka berkatalah nahkoda tersebut,‘Apa yang menimpamu?”
Kemudian sang pemuda menyingkap pakaian dan auratnya, ternyata
belatung-belatung tengah berjatuhan dari kemaluannya. Bukan main
terkejutnya sang Nahkoda, tubuhnya gemetar ketakutan menyaksikan hal
itu, ia berkata,”A’udzubillahi min hadza (Aku berlindung kepada
Allah dari yang demikian).” Kemudian ia berdiri meninggalkan pemuda
tersebut. Sesaat sebelum fajar, awak kapal terbangun oleh suara keras
yang memanjang, mereka segera berlari berhamburan menuju ke sumber suara
dan mereka mendapati pemuda tersebut telah meninggal dalam keadaan
menggigit kayu kapal, awak kapal mengucapkan kalimat istirja’ (innalillahi wa innailaihi raji’un) dan berdo’a memohon kepada Allah khusnul khatimah bagi pemuda tensebut.
Maka jadilah kisah ini sebagai pelajaran bagi orang yang mengambil
pelajaran. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah dan
tidak ada benteng yang terbaik yang melindungi kita dari nafsu setan
kecuali menjauhi fitnah dan tempat fitnah tersebut.(AR)*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar